BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan menyusun rencana pembelajaran merupakan salah satu tugas penting guru dalam memproses pembelajaran siswa. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional yang dituangkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses disebutkan bahwa salah satu komponen dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu adanya tujuan pembelajaran yang di dalamnya menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar.
Agar proses pembelajaran dapat terkonsepsikan dengan baik, maka seorang guru dituntut untuk mampu menyusun dan merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan tegas. Dengan demikian, dalam kenyataan di lapangan saat ini, tampaknya kita masih dapat menemukan permasalahan yang dihadapi para guru (calon guru) dalam merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dilakukannya, yang berujung pada inefektivitas dan inefesiensi pembelajaran.
Oleh karena itu, melalui makalah ini akan dikemukakan secara singkat tentang apa dan bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran serta macam-macam tujuan pembelajaran, dalam perspektif teoritis. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa sebagai calon guru agar dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas, sehingga dapat melaksanakan pembelajaran yang benar-benar terfokus pada tujuan yang telah dirumuskannya.
B. Sistematika Penyusunan
Paper ini disusun dengan menggunakan metode studi literatur dari beberapa buku yang didownloade dari internet dan beberapa tulisan di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan Pembelajaran
a. Definisi Tujuan Pembelajaran
Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin meluas hampir di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian tujuan pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu sbb:
1. Robert F. Mager mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu.
2. Kemp dan David E. Kapel menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
3. Henry Ellington bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar.
4. Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran.
5. Standar Proses pada Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007, tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar. Ini berarti kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran mencakup kemampuan yang akan dicapai siswa selama proses belajar dan hasil akhir belajar pada suatu KD.
Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi tampaknya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa :
a. Tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
b. Tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.
Yang menarik untuk digarisbawahi yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan).
Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Empat manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu:
1. Memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara lebih mandiri.
2. Memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar.
3. Membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran.
4. Memudahkan guru mengadakan penilaian.
Dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa. Sementara itu, Fitriana Elitawati (2002) menginformasikan hasil studi tentang manfaat tujuan dalam proses belajar mengajar bahwa perlakuan yang berupa pemberian informasi secara jelas mengenai tujuan pembelajaran khusus kepada siswa pada awal kegiatan proses belajar-mengajar, ternyata dapat meningkatkan efektifitas belajar siswa.
Memperhatikan penjelasan di atas, tampak bahwa tujuan pembelajaran merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran, yang di dalamnya dapat menentukan mutu dan tingkat efektivitas pembelajaran.
b. Tingkatan-tingkatan Tujuan Pembelajaran
Tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran menurut Hernawan (2005) terbagi atas beberapa tingkatan yaitu:
1. Tujuan Pembelajaran yang paling umum, yaitu tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional menurut UU No 2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional yaitu: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (pasal 4)”.
2. Tujuan institusional, berisi rumusan kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh pebelajar setelah mengikuti pendidikan pada suatu tingkat pendidikan tertentu. Misalnya tujuan pendidikan dasar (SD dan SMP) yaitu: “Pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. (Bab II, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990).
3. Tujuan Kurikuler adalah rumusan dari setiap mata pelajaran/bidang studi/mata kuliah. Misalnya tujuan kurikuler mata pelajaran IPA pada pendidikan dasar, Contoh: Pebelajar memiliki pengetahuan tentang lingkungan alam serta keterampilan, wawasan dan kesadaran teknologi dalam kaitannya dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari.
Menurut Harjanto (2008), perumusan tujuan Instruksional dalam desain pembelajaran merupakan perumusan yang jelas dimana memuat pernyataan tentang kemampuan dan tingkah laku peserta didik setelah mengikuti suatu program pengajaran tertentu untuk satu topik atau subtopik tertentu. Dengan demikian dapat dipertegas bahwa perumusan instruksional berfungsi sebagai tercapainya hasil belajar berupa perubahan tingkah laku dan kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran.
Tujuan instruksional ini dapat dibedakan menjadi tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK). Menurut Grounlund dalam Harjanto (2008) tujuan instruksional umum (TIU) adalah hasil belajar yang diharapkan yang dinyatakan secara umum dan berpedoman pada perubahan tingkah laku dalam kelas. Tujuan instruksional umum (TIU) merupakan serangkaian hasil belajar yang bersifat umum. Sedangkan tujuan instruksional khusus (TIK) adalah hasil belajar yang dinyatakan dalam istilah perubahan tingkah laku khusus. Tingkah laku khusus adalah kata kerja yang dapat diamati dan diukur.
Kegunaan TIU dalam proses belajar mengajar menurut Harjanto (2008) adalah:
1. Memberikan kriteria yang pasti untuk mengukur kemajuan belajar peserta didik.
2. Memberikan kepastian mengenai kemampuan yang diharapkan dari peserta didik.
3. Memberikan dasar untuk mengembangkan alat evaluasi untuk mengukur efektifitas pengajaran.
4. Menentukan petunjuk dalam menentukan materi dan strategi instruksional.
5. Petunjuk bagi peserta didik tentang apa yang dipelajari dan apa yang akan dinilai dalam mengikuti suatu pelajaran.
6. Peserta didik akan mengorganisasikan usaha dan kegiatannya untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan.
Menurut Suparman (2004), merumuskan tujuan instruksional khusus (TIK) merupakan:
1. Dasar dan pedoman bagi seluruh proses pengembangan tujuan instruksional selanjutnya (perumusan TIK merupakan titik permulaan sesungguhnya dari proses pengembangan instruksional).
2. Alat untuk menguji validitas isi tes (isi pelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan apa yang akan dicapai).
3. Arah proses pengembangan instruksional karena di dalamnya tercantum rumusan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai peserta didik pada akhir proses instruksional.
c. Merumuskan Tujuan Pembelajaran
Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi.
Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kendati demikian, di lapangan kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran seringkali dikacaukan dengan perumusan indikator pencapaian kompetensi. Sri Wardani (2008) bahwa tujuan pembelajaran merupakan target pencapaian kolektif, karena rumusan tujuan pembelajaran dapat dipengaruhi oleh desain kegiatan dan strategi pembelajaran yang disusun guru untuk siswanya. Sementara rumusan indikator pencapaian kompetensi tidak terpengaruh oleh desain ataupun strategi kegiatan pembelajaran yang disusun guru, karena rumusannya lebih bergantung kepada karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai siswa. Di samping terdapat perbedaan, keduanya memiliki titik persamaan yaitu memiliki fungsi sebagai acuan arah proses dan hasil pembelajaran.
Terlepas dari kekacauan penafsiran yang terjadi di lapangan, yang pasti bahwa untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran. Selanjutnya, dia menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu:
1. Preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya.
2. analisis taksonomi perilaku, dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.
Berbicara tentang taksonomi perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom, sebagai tujuan pembelajaran, yang dikenal dengan sebutan taksonomi Bloom (Bloom’s Taxonomy). Menurut Bloom perilaku individu dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) ranah, yaitu:
1. Ranah kognitif; ranah yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dalamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation);
2. Ranah afektif; ranah yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan
3. Ranah psikomotor; ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Ranah ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation), membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.
Dalam setiap aspek taksonomi terkandung kata kerja operasional yang menggambarkan bentuk perilaku yang hendak dicapai melalui suatu pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, dalam tabel berikut disajikan contoh kata kerja operasional dari masing-masing ranah.
Tabel 1: Kata Kerja Ranah Kognitif
Pengetahuan | Pemahaman | Penerapan | Analisis | Sintesis | Penilaian |
Mengutip Menyebutkan Menjelaskan Menggambar Membilang Mengidentifikasi Mendaftar Menunjukkan Memberi label Memberi indeks Memasangkan Menamai Menandai Membaca Menyadari Menghafal Meniru Mencatat Mengulang Mereproduksi Meninjau Memilih Menyatakan Mempelajari Mentabulasi Memberi kode Menelusuri Menulis | Memperkirakan Menjelaskan Mengkategorikan Mencirikan Merinci Mengasosiasikan Membandingkan Menghitung Mengkontraskan Mengubah Mempertahankan Menguraikan Menjalin Membedakan Mendiskusikan Menggali Mencontohkan Menerangkan Mengemukakan Mempolakan Memperluas Menyimpulkan Meramalkan Merangkum Menjabarkan | Menugaskan Mengurutkan Menentukan Menerapkan Menyesuaikan Mengkalkulasi Memodifikasi Mengklasifikasi Menghitung Membangun Membiasakan Mencegah Menentukan Menggambarkan Menggunakan Menilai Melatih Menggali Mengemukakan Mengadaptasi Menyelidiki Mengoperasikan Mempersoalkan Mengkonsepkan Melaksanakan Meramalkan Memproduksi Memproses Mengaitkan Menyusun Mensimulasikan Memecahkan Melakukan Mentabulasi Memproses Meramalkan | Menganalisis Mengaudit Memecahkan Menegaskan Mendeteksi Mendiagnosis Menyeleksi Merinci Menominasikan Mendiagramkan Megkorelasikan Merasionalkan Menguji Mencerahkan Menjelajah Membagankan Menyimpulkan Menemukan Menelaah Memaksimalkan Memerintahkan Mengedit Mengaitkan Memilih Mengukur Melatih Mentransfer | Mengabstraksi Mengatur Menganimasi Mengumpulkan Mengkategorikan Mengkode Mengombinasikan Menyusun Mengarang Membangun Menanggulangi Menghubungkan Menciptakan Mengkreasikan Mengoreksi Merancang Merencanakan Mendikte Meningkatkan Memperjelas Memfasilitasi Membentuk Merumuskan Menggeneralisasi Menggabungkan Memadukan Membatas Mereparasi Menampilkan Menyiapkan Memproduksi Merangkum Merekonstruksi | Membandingkan Menyimpulkan Menilai Mengarahkan Mengkritik Menimbang Memutuskan Memisahkan Memprediksi Memperjelas Menugaskan Menafsirkan Mempertahankan Memerinci Mengukur Merangkum Membuktikan Memvalidasi Mengetes Mendukung Memilih Memproyeksikan |
Tabel 2: Kata Kerja Ranah Afektif
Menerima | Menanggapi | Menilai | Mengelola | Menghayati |
Memilih Mempertanyakan Mengikuti Memberi Menganut Mematuhi Meminati | Menjawab Membantu Mengajukan Mengompromikan Menyenangi Menyambut Mendukung Menyetujui Menampilkan Melaporkan Memilih Mengatakan Memilah Menolak | Mengasumsikan Meyakini Melengkapi Meyakinkan Memperjelas Memprakarsai Mengimani Mengundang Menggabungkan Mengusulkan Menekankan Menyumbang | Menganut Mengubah Menata Mengklasifikasikan Mengombinasikan Mempertahankan Membangun Membentuk pendapat Memadukan Mengelola Menegosiasi Merembuk | Mengubah perilaku Berakhlak mulia Mempengaruhi Mendengarkan Mengkualifikasi Melayani Menunjukkan Membuktikan Memecahkan |
Tabel 3. Kata Kerja Ranah Psikomotorik
Menirukan | Memanipulasi | Pengalamiahan | Artikulasi |
Mengaktifkan Menyesuaikan Menggabungkan Melamar Mengatur Mengumpulkan Menimbang Memperkecil Membangun Mengubah Membersihkan Memposisikan Mengonstruksi | Mengoreksi Mendemonstrasikan Merancang Memilah Melatih Memperbaiki Mengidentifikasikan Mengisi Menempatkan Membuat Memanipulasi Mereparasi Mencampur | Mengalihkan Menggantikan Memutar Mengirim Memindahkan Mendorong Menarik Memproduksi Mencampur Mengoperasikan Mengemas Membungkus | Mengalihkan Mempertajam Membentuk Memadankan Menggunakan Memulai Menyetir Menjeniskan Menempel Menseketsa Melonggarkan Menimbang |
Merujuk pada pemikiran Bloom di atas, tampak bahwa tujuan pembelajaran seyogyanya dapat mencakup seluruh ranah perilaku individu. Artinya, tidak hanya sebatas pencapaian perubahan perilaku kognitif atau intelektual semata, yang hingga ini tampaknya masih bisa ditemukan dalam praktik pembelajaran di Indonesia.
Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu:
1. Perilaku terminal
2. Kondisi-kondisi
3. Standar ukuran
Hal tersebut juga dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu:
1. Menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran.
2. Perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut
3. Perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.
Berkenaan dengan perumusan tujuan yang berorientasi performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas:
1. Tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik.
2. Menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak didik berbuat.
3. Menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan.
Masih berkenaan dengan perumusan tujuan pembelajaran, Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.
Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCCD. A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Conten ( isi atau materi harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima).
Contoh rumusan tujuan pembelajaran dalam perkuliahan mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran. Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan diharapkan:
“Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip dalam kegiatan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan metode diskusi minimal tiga prinsip”.
Mahasiswa= Audience
Menjelaskan= Behavior
Prinsip dalam kegiatan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan= Conten
Metode diskusi=Condition
Minimal tiga prinsip= Degree
Kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran pada dasarnya merupakan otoritas guru sepenuhnya, namun seiring dengan penerapan konsep pembelajaran demokratis dan pembelajaran partisipatif, maka dalam merumuskan tujuan pembelajaran, selain memperhatikan tuntutan kurikulum yang berlaku, seyogyanya guru dapat melibatkan siswa didalamnya. Keterlibatan siswa dalam merumuskan tujuan pembelajaran memungkinkan siswa untuk dapat lebih termotivasi dan lebih fokus mengikuti setiap kegiatan belajar dan pembelajarannya. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memiliki keterampilan mengharmonisasikan untuk mempertemukan tujuan-tujuan pembelajaran sebagaimana digariskan dalam kurikulum dengan tuntutan kebutuhan dan tujuan belajar siswa.
B. TUJUAN KOGNITIF
Tujuan pendidikan ini sangat luas. Biasanya merupakan pernyataan tujuan pendidikan umum, yang dapat dipakai sebagai petunjuk pendidikan seluruh negara. Zais menjelaskan tujuan pembelajaran merupakan pernyataan yang melukiskan tujuan yang diharapkan, tujuan atau hasil yang didasarkan pada proses pembelajaran. Tujuan ini mungkin dapat dicapai setelah seseorang menyelesaikan pendidikan.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar bertujuan supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.
Tujuan pembelajaran sebagaimana telah tercantum dalam pembukaan UUD 45 bahwa tujuan pembelajaran adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Suatu tujuan pembelajaran adalah mendapatkan kemampuan intelektual agar mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari- hari, kemudian siswa bisa bersikap sesuai apa yang dia ketahui, kemampuan kognitif ini sangat menentukan pada kemampuan psikomotornya. Belajar tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi juga memperoleh kemampuan intelektual, merangsang rasa ingin tahu siswa, dan memotivasi siswa.
Secara filosofis tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup. Pentingnya tujuan dalam proses pendidikan sama hal pentingnya pendidikan dalam proses kehidupan. Mungkin tidak ada tujuan pendidikan bagi orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Tanpa adanya tujuan yang jelas seperti dikatakan Davies (1976:73) semua perencanaan itu bagaikan mimpi yang tak mungkin dilakukan.
Tujuan pendidikan menggambarkan tentang idealisme, cita-cita keadaan individu atau masyarakat yang dikehendaki. Karenanya tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, sebab tidak saja memberikan arah kemana harus dituju, tetapi juga memberikan arah ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, alat atau media, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.
Dengan sebuah rumusan tujuan pendidikan, maka proses pendidikan akan dengan mudah dinilai/diukur tingkat kebehasilannya. Keberhasilan pendidikan akan dengan mudah dan cepat dapat dilihat dari segi pecapai tujuan. Dengan tujuan juga mempermudah menyusun/menetapkan materi, metode dan alat atau media yang digunakan dalam proses pendidikan.
Motivasi dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan dorongan untuk mewujudkan perilaku tertentu yang terarah kepada pencapaian suatu tujuan tertentu. Perilaku belajar terjadi dalam situasi interaksi belajar-mengajar dalam mencapai tujuan dan hasil belajar. Dalam berbagai teori penelitian, ternyata terdapat kaitan yng erat antara kepuasan yang dicapai dalam belajar denga unjuk kerja dan motivasi.
Kepuasan yang diperoleh siswa dari proses belajar dapat menunjukkan unjuk kerja yang dan dapat meningkatkan motivasi belajar. Unjuk kerja yang dicapai seseorang dapat mendapatkan kepuasan dan kemudian dapat meningkatkan motivasi, dalam kaitan ini hendaknya dapat ditimbulkan suasana belajar yang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepuasan agar dapat menghasilkan unjuk kerja yang baik. Faktor yang mempengaruhi kepuasan siswa dalam belajar yaitu imbalan hasil belajar, rasa aman dalam belajar, kondisi belajar yang memadai, kesempatan untuk memperluas diri.
Ada beberapa prinsip motivasi yang dapat dijadikan acuan yaitu prinsip kompetisi, prinsip pemacu, prinsip ganjaran dan hukuman, kejelasan dan kedekatan tujuan, pemahaman hasil, peengembangan minat, lingkungan yang kondusif, keteladanan. Pengamatan dan perhatian merupakan aspek tingkah laku yang mempunyai peranan penting dalam proese pembelajaran.
Keefektipan suatu pross peembelajaran akan banyak mempengaruhi kognitip siswa, akan mempengaruhi tujuan pembelajaran. Pengamatan atau persepsi, merupakan salah satu bentuk perilaku kognitif, yaitu suatu proses mengenal lingkungan dengan menggunakan alat indera. Prosses pengamatan tejadi karena adanya rangsangan dari lingkungan yang diterima oleh individu dengan penggunaan alat indera. Rangsangan itu kemudian diteruskan ke pusat kesadaran yaitu otak untuk kemudian diberikan makna dan tafsiran. Dilihat dari proporsi penggunaan alat indera ada beberapa gaya pengamatan yaitu: gaya pengamatan visual, gaya auditif, gaya taktil, gaya kinestetik.
Perhatian dapat diartikan sebagai peningkatan aktivitas mental terhadap suatu rangsangan tertentu. Perhatian dapat lebih memusatkan pengamatan individu kepada suatu rangsangan, sehinnga pengamatan menjadi lebih efektif.
Ciri-ciri seseorang yang mempunyai perkembangan intelektual menurut bruner :
1. Meningkatnya kemampuan menginternalisasi berbagai phenomena menjadi satu system simpanan ( strorage system ).
2. Bertambahnya ketidaktergantungan respon terhadap stimulus.
3. Meningkatnya kemampuan berkomunikasi melalui symbol-simbol.
Indicator keberhasilan pembelajaran dapat di klasifikasikan menjadi tiga yaitu :
1. Keefektifan
Pembelajaran dikatakan efektif jika pembelajaran tersebut mampu memberikan atau menambah informasi atau pengetahuan baru bagi siswa. Adapun keefektifan pembelajaran dapat diukur dengan criteria :
· Kecermatan penguasaan kemampuan atau perilaku yang dipelajari
· Kecepatan unjuk kerja sebagai bentuk hasil belaja.
· Kesesuaian dengan prosedur kegiatan belajar yang harus ditempuh.
· uantitas unjuk kerja sebagai bentuk hasil belajar.
· Kualitas hasil akhir yang dapat dicapai.
· Tingkat alih belajar.
· Tingkat retensi belajar.
2. Efisiensi.
Pembelajaran yang efisien adalah pembelajaran yang menyenangkan, menggairahkan dan mampu memberikan motivasi bagi siswa dalam belajar.
3. Daya Tarik.
Daya tarik yang dimaksud dalam hal ini adalah pembelajaran itu diukur dengan mengamati kecendurungan peserta didik untuk berkeinginan terus belajar. Gagne memengemukakan adanya 5 jenis tujuan/hasil belajar, yaitu :
· Verbal information (informasi verbal)
Yaitu kemampuan untuk menyatakan atau mengungkapkan kembali secara verbal pengetahuan ataukah informasi yang telah dimilikinya dalam arti bahwa seseorang yang telah memiliki pengetahuan tertentu berkemampuan untuk menuangkan pengetahuan itu dalam bentuk bahasan (baik tulisan maupun tertulis yang memadai) sehingga dapat dikomunikasikan kepada orang lain,
· intelectual skills (kecakapan intelektual).
Menunjuk kepada kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai lambang/simbol (huruf,angka, kata, gambar). Cakupan dari kecakapan intelektual ini meliputi kecakapan yang sangat sederhana sampai kepada kemampuan yang bersifat kompleks sesuai kapasitas intelektual yang dimilki seseorang. Kecakapan intelektual ini terdiri atas 4 sub kemampuan yang bersifat hierarkhi, yaitu: diskriminasi, konsep, kaidah, dan prinsip.
· cognitive strategies (strategi kognitif).
menunjuk pada kemampuan mengatur cara/proses belajar dan mengelola/mengorganisir proses berpikir dalam arti yang seluas-luasnya. Seseorang yang memiliki strategi kognitif yang baik akan jauh
lebih efisien dan efektif dalam mempergunakan semua konsep dan kaidah yang
dimilikinya dibandingkan dengan seseorang yang tidak berkemampuan demikian. Strategi kognitif ini oleh Ruthkopf dinamakan “mathemagenic activities“,
lebih efisien dan efektif dalam mempergunakan semua konsep dan kaidah yang
dimilikinya dibandingkan dengan seseorang yang tidak berkemampuan demikian. Strategi kognitif ini oleh Ruthkopf dinamakan “mathemagenic activities“,
Impilkasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pengajaran antara lain :
- Bahasa dan cara fikir anak berbeda dengan orang dewasa oleh karena itu dalam mengajar guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
- Anak-anak akan beajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan baik.
- Bahan yang akan dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
- Beri peluang agar anak mau belajar sesuai dengan peringkat perkembangannya.
- Di dalam kelas hendaknya anak-anak diberi peluang untuk saling berbicara dan berdiskusi dengan teman-temannya.
Dalam kaitan dengan pengajaran ada sembilan langkah pengajaran yang memicu timbulnya kemampuan intelektual atau kognitif siswa dintaranya yaitu:
- Melakukan tindakan untuk menarik perhatian siswa.
- Memberikan infomasi kepada siswa mengenai tujuan pengajaran.
- Merangsang siswa untuk melakukan aktivitas pembelajaran.
- Menyampaikan isi yang akan di bahas sesuai dengan topik.
- Memberikan bimbingan bagi aktivitas siswa.
- Memberikan peneguhan kepada perilaku pembelajaran siswa.
- Memberikan umpan balik terhadap perilaku yang ditunjukkan siswa.
- Melaksanakan penilaian proses dan hasil pembelajaran.
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat dan menggunakan hasil pembelajaran.
Tercapainya tujuan pembelajaran kognitip pada siswa juga ditentukan oleh model-model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Guru dapat membantu siswa dalam memusatkan memelihara perhaitan dalam proses pembelajaran dengan hal-hal sebagai berikut:
- Isyarat, memberikan isyarat-isyarat tertentu kepada siswa pada saat memulai pelajaran atau pada saat pergantian aktivitas.
- Gerakan, senantiasa bergerak dan berkeliling ke seluruh kelas selama menyajikan pelajaran.
- Variasi,menggunakan gaya variasi dalam gaya mengajar.
- Minat, memberikan minat siswa sebelum dan selama proses pengajaran.
- Pertanyaan, mengajukan pertanyaan selama proses pengajaran berlangsung, mendorong siswa untuk memberikan jawaban dengan kata-kata sendiri.
Suatu proses pembelajaran akan berlangsung dengan efektif apabila informasi yang dipelajari dapat diingat dengan baik dan terhindar dari lupa. Mengingat adalah merupakan proses menerima, menyimpan, dan mengeluarkan kembali inforrmasi-informasi yang telah diterima melalui pengamatan, kemudian disimpan dalam pusat kesadaran (otak) setelah diberikan tafsiran. Yang dimaksud dengan transfer dalam pembelajaran ialah pemindahan hasil pembelajaran dari suatu situasi ke situasi lain. Tansfer akan terjadi apabla terdapat kesamaan antara pembelajaran yang satu dengan situasi lainnya.
Dalam proses pembelajaran kebutuhan merupakan sumber timbulnya motivasi. Kebutuhan (need) dapat diartikan sebagai suatu sitiasi kekurangan dalam diri inividu dan menuntut pemuasan agar dapat berfungsi secara efektif. Kebutuhan merupakan sumber timbulnya motivasi yang mendorong individu untuk berperilaku yaitu menuntut ilmu agar mendapatkan pengetahuan intelektual sebagai tujuan utama dari pembelajaran.
Proses pengajaran yang efektif terbentuk melalui pengajaran yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Berpusat pada siswa.
- Interaksi edukatif antara guru dengan siswa.
- Suasana demokratis.
- Variasi metode mengajar.
- Guru profesional.
- Bahan yang sesuai dan bermanfaat.
- Lingkungan yang kondusif.
- Sarana belajar yang menunjang.
Model mengajar dikelompokkan dalam empat rumpun yaitu :
- Rumpun model pemrosesan informasi, model ini berorientasi pada kecakapan siswa dam memproses informasi. terdiri atas: model berpikir induktif, model latihan inkuri, inkuri ilmiah, penemuan konsep, pertumbuhan kognitif, model penata lanjutan dan memori.
- Rumpun model-model personal, model ini berorientasi kepada individu dan perkembangan keakuan (selfhood), terdiri atas; pengajaran non-direktif, latihan kesadaran, sinektik, sistem-sistem konseptual dan pertemuan kelas.
- Rumpun model interaksi sosial, model ini menekankan hubungan individu dengan orang lain atau masyarakat, terdiri dari; penentuan kelompok, inkuiri (penemuan sosial), metode laboratori, jurisprudensial, bermain peran, model penata lanjutan, dan simulasi sosial.
- Rumpun model behavior (perilaku), model ini menekankan pada aspek perubahan perilaku psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati, terdiri dari: manajemen kontingensi, kontrol diri, relaksasi, pengurangan ketegangan, latihan asertif desensitasi, latihan langsung.
Teori perkembangan kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize.
Kemampuan kognitip berdasarkan tahapan umurnya, sebagaimana Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi pada pertambahan usia, yaitu :
1. Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode.
2. Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
3. Tahapan operasional konkrit.
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai dua belas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan, kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi, kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).
Decentering, anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility, anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi, memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme, kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
4. Tahapan operasional formal.
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
- Universal (tidak terkait budaya).
- Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan.
- Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis.
- Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi).
- Tahapan merepresentasikan pserbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.
Kemampuan kognitif siswa berbeda-beda, berdasarkan intensitas belajarnya, kemampuan kognitif juga bergantung pada kemampuan otaknya untuk menyimpan informasi yang telah diterima, ada anak yang kemampuan intelektualnya sangat tinngi dan ada juga anak yang kemampuan intelektualnya biasa saja.
Seseorang melakukan proses belajar dengan tujuan mendapatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Kemampuan kognitif ini sangat berpengaruh pada kemampuan afektif dan psikomotor.karena jika siswa mempunyai kognitif yang bagus tentunya dia akan mampu mempraktekan sesuatu yangdia ketahui, misalnya, si anak menguasai konsep asam basa, tentu dalam praktikumnya dia akan mudah karena dia sudah memahami dengan pasti apa yang harus terjadi, atau apa seharusnya hasil dari praktikum yang sudah dilakukan. Kemudian dengan pengetahuan yang dia tahu dia akan mengaplikasukan apa yang dia tahu dalam kehidupas sehari-hari, yang disebut dengan apektif. Sehingga jelaslah bahwa ketiga dari tujuan pembelajaran ini sangat berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya
C. Tujuan Psikomotor
Ranah psikomotor menurut Bloom (1979), merupakan ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuron muscular system) dan fungsi psikis. Ranah ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation), membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya. Singer (1972) menambahkan bahwa mata pelajaran yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata pelajaran yang lebih beorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi–reaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau sekumpulan tugas tertentu. Menurut Mardapi (2003), keterampilan psikomotor ada enam tahap, yaitu: gerakan refleks, gerakan dasar, kemampuan perseptual, gerakan fisik, gerakan terampil, dan komunikasi nondiskursif. Gerakan refleks adalah respons motorik atau gerak tanpa sadar yang muncul ketika bayi lahir. Gerakan dasar adalah gerakan yang mengarah pada keterampilan komplek yang khusus. Kemampuan perseptual adalah kombinasi kemampuan kognitif dan motorik atau gerak. Kemampuan fisik adalah kemampuan untuk mengembangkan gerakan terampil. Gerakan terampil adalah gerakan yang memerlukan belajar, seperti keterampilan dalam olah raga. Komunikasi nondiskursif adalah kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan.
Buttler (1972) membagi hasil belajar psikomotor menjadi tiga, yaitu: specific responding, motor chaining, rule using. Pada tingkat specific responding peserta didik mampu merespons hal-hal yang sifatnya fisik, (yang dapat didengar, dilihat, atau diraba), atau melakukan keterampilan yang sifatnya tunggal, misalnya memegang raket, memegang bed untuk tenis meja. Pada motor chaining peserta didik sudah mampu menggabungkan lebih dari dua keterampilan dasar menjadi satu keterampilan gabungan, misalnya memukul bola, menggergaji, menggunakan jangka sorong, dll. Pada tingkat rule using peserta didik sudah dapat menggunakan pengalamannya untuk melakukan keterampilan yang komplek, misalnya bagaimana memukul bola secara tepat agar dengan tenaga yang sama hasilnya lebih baik.
Dave (1967) dalam penjelasannya mengatakan bahwa hasil belajar psikomotor dapat dibedakan menjadi lima tahap, yaitu: imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi. Imitasi adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya. Contohnya, seorang peserta didik dapat memukul bola dengan tepat karena pernah melihat atau memperhatikan hal yang sama sebelumnya. Manipulasi adalah kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihat tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja. Sebagai contoh, seorang peserta didik dapat memukul bola dengan tepat hanya berdasarkan pada petunjuk guru atau teori yang dibacanya. Kemampuan tingkat presisi adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang tepat. Contoh, peserta didik dapat mengarahkan bola yang dipukulnya sesuai dengan target yang diinginkan. Kemampuan pada tingkat artikulasi adalah kemampuan melakukan kegiatan yang komplek dan tepat sehingga hasil kerjanya merupakan sesuatu yang utuh. Sebagai contoh, peserta didik dapat mengejar bola kemudian memukulnya dengan cermat sehingga arah bola sesuai dengan target yang diinginkan. Dalam hal ini, peserta didik sudah dapat melakukan tiga kegiatan yang tepat, yaitu lari dengan arah dan kecepatan tepat serta memukul bola dengan arah yang tepat pula. Kemampuan pada tingkat naturalisasi adalah kemampuan melakukan kegiatan secara reflek, yakni kegiatan yang melibatkan fisik saja sehingga efektivitas kerja tinggi. Sebagai contoh tanpa berpikir panjang peserta didik dapat mengejar bola kemudian memukulnya dengan cermat sehingga arah bola sesuai dengan target yang diinginkan.
Untuk jenjang Pendidikan SMA, mata pelajaran yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, seni budaya, fisika, kimia, biologi, dan keterampilan. Dengan kata lain, kegiatan belajar yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah praktik di aula atau lapangan dan praktikum di laboratorium. Dalam kegiatan-kegiatan praktik itu juga mengandung ranah kognitif dan afektif, namun lebih sedikit bila dibandingkan dengan ranah psikomotor.
Menurut Ebel (1972), ada kaitan erat antara tujuan yang akan dicapai, metode pembelajaran, dan evaluasi yang akan dilaksanakan. Oleh karena ada perbedaan titik berat tujuan pembelajaran psikomotor dan kognitif maka strategi pembelajarannya juga berbeda. Menurut Mills (1977), pembelajaran keterampilan akan efektif bila dilakukan dengan menggunakan prinsip belajar sambil mengerjakan (learning by doing). Leighbody (1968) menjelaskan bahwa keterampilan yang dilatih melalui praktik secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan atau otomatis dilakukan. Sementara itu Goetz (1981) dalam penelitiannya melaporkan bahwa latihan yang dilakukan berulang-ulang akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemahiran keterampilan. Lebih lanjut dalam penelitian itu dilaporkan bahwa pengulangan saja tidak cukup menghasilkan prestasi belajar yang tinggi, namun diperlukan umpan balik yang relevan yang berfungsi untuk memantapkan kebiasaan. Sekali berkembang maka kebiasaan itu tidak pernah mati atau hilang.
Sementara itu, Gagne (1977) berpendapat bahwa kondisi yang dapat mengoptimalkan hasil belajar keterampilan ada dua macam, yaitu kondisi internal dan eksternal. Untuk kondisi internal dapat dilakukan dengan cara:
a. mengingatkan kembali bagian dari keterampilan yang sudah dipelajari
b. mengingatkan prosedur atau langkah-langkah gerakan yang telah dikuasai Sementara itu untuk kondisi eksternal dapat dilakukan dengan:
a. instruksi verbal
b. gambar
c. demonstrasi
d. praktik
e. umpan balik.
Dalam melatihkan kemampuan psikomotor atau keterampilan gerak ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar pembelajaran mampu membuahkan hasil yang optimal. Mills (1977) menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam mengajar praktik adalah:
a. menentukan tujuan dalam bentuk perbuatan
b. menganalisis keterampilan secara rinci dan berutan
c. mendemonstrasikan keterampilan disertai dengan penjelasan singkat dengan memberikan perhatian pada butir-butir kunci termasuk kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dan bagian-bagian yang sukar
d. memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba melakukan praktik dengan pengawasan dan bimbingan
e. memberikan penilaian terhadap usaha peserta didik.
Edwardes (1981) menjelaskan bahwa proses pembelajaran praktik mencakup tiga tahap, yaitu:
a. penyajian dari pendidik
b. kegiatan praktik peserta didik
c. penilaian hasil kerja peserta didik.
Guru harus menjelaskan kepada peserta didik kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kompetensi kunci adalah kemampuan utama yang harus dimiliki seseorang agar tugas atau pekerjaan dapat diselesaikan dengan cara benar dan hasilnya optimal. Sebagai contoh, dalam memukul bola, kompetensi kuncinya adalah kemampuan peserta didik menempatkan bola pada titik ayun. Dengan cara ini, tenaga yang dikeluarkan hanya sedikit namun hasilnya optimal. Contoh lain, dalam mengendorkan mur dari bautnya, kompetensi kuncinya adalah kemampuan peserta didik memegang kunci pas secara tepat yakni di ujung kunci. Dengan cara ini tenaga yang dikeluarkan untuk mengendorkan mur jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengendoran mur dengan cara memegang kunci pas yang tidak tepat.
Dalam proses pembelajaran keterampilan, keselamatan kerja tidak boleh dikesampingkan, baik bagi peserta didik, bahan, maupun alat. Leighbody (1968) menjelaskan bahwa keselamatan kerja tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran psikomotor. Guru harus menjelaskan keselamatan kerja kepada peserta didik dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena kompetensi kunci dan keselamatan kerja merupakan dua hal penting dalam pembelajaran keterampilan, maka dalam penilaian kedua hal itu harus mendapatkan porsi yang tinggi.
Kawasan psikomotor berkaitan dengan ketrampilan atau skill yang bersikap manual atau motorik. Tingkatan psikomotor ini meliputi:
a. Persepsi, berkenaan dengan penggunaan indra dalam melakukan kegiatan. Contoh: mengenal kerusakan mesin dari suaranya yang sumbang.
b. Kesiapan melakukan suatu kegiatan, berkenaan dengan melakukan sesuatu kegiatan atau set termasuk di dalamnya metal set atau kesiapan mental, physical set (kesiapan fisik) atau (emotional set) kesiapan emosi perasaan untuk melakukan suatu tindakan.
c. Mekanisme, berkenaan dengan penampilan respon yang sudah dipelajari dan menjadi kebiasan sehingga gerakan yang ditampilkan menunjukkan kepada suatu kemahiran. Contoh: menulis halus, menari, menata laboratorium dan menata kelas.
d. Respon terbimbing, berkenaan dengan meniru (imitasi) atau mengikuti, mengulangi perbuatan yang diperintahkan atau ditunjukkan oleh orang lain, melakukan kegiatan coba-coba (trial and error).
e. Kemahiran, berkenaan dengan penampilan gerakan motorik dengan ketrampilan penuh.
f. Kemahiran yang dipertunjukkan biasanya cepat, dengan hasil yang baik namun menggunakan sedikit tenaga. Contoh: tampilan menyetir kendaran bermotor.
g. Adaptasi, berkenaan dengan ketrampilan yang sudah berkembang pada diri individu sehingga yang bersangkutan mampu memodifikasi pada pola gerakan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Contoh: orang yang bermain tenis, pola-pola gerakan disesuaikan dengan kebutuhan mematahkan permainan lawan.
h. Organisasi, berkenaan dengan penciptaan pola gerakan baru untuk disesuaikan dengan situasi atau masalah tertentu, biasanya hal ini dapat dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai ketrampilan tinggi, seperti menciptakan model pakaian, menciptakan tarian, komposisi musik (Uno, 2009)
D. Tujuan pembelajaran afektif
Aspek afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang (Popham: 1995). Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan studi secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal.
a. Taksonomi tujuan afektif menurut Krathwohl, dkk.
Tingkatan ranah afektif | Kata kerja |
1. Pengenalan (receiving) | Mendengarkan Menghadiri Melihat Memperhatikan |
2. Pemberian respon (responding) | Mengikuti Mendiskusikan Berlatih Berpartisipasi Mematuhi |
3. Penghargaan terhadap nilai (valuing) | Memilih Meyakinkan Bertindak Berargumentasi |
4. Pengorganisasian (organization) | Memilih Memutuskan Memformulasi-kan Membanding-kan Membuat sistematisasi |
5. Pengamalan (characterization) | Menunjukkan sikap Menolak Mendemonstrasikan Menghindari |
Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization.
a. Tingkat receiving
Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik adalah mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
b. Tingkat responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat tertinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
c. Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
d. Tingkat organization
Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.
e. Tingkat characterization
Pengamalan (characterization) merupakan tingkatan tertinggi dari ranah afektif. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilakunya sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.
b. Karakteristik Ranah Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981 : 4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya kimia, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran kimia dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi. Penilaian minat dapat digunakan untuk :
a. mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b. mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c. pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d. menggambarkan keadaan langsung di lapangan atau kelas,
e. mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
f. acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g. mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h. bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i. meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang, tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut :
· Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
· Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
· Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
· Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
· Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
· Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
· Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
· Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
· Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
· Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
· Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
· Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik
· Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
· Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
· Peserta didik mampu menilai dirinya.
· Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
· Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.
4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5. Moral
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
Ranah afektif lain yang penting adalah:
• Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain.
• Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.
• Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
• Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.
c. Penilaian ranah afektif
Asesmen (penilaian) dalam pembelajaran adalah suatu proses atau upaya formal pengumpulan informasi yang berkaitan dengan variabel-variabel penting pembelajaran sebagai bahan dalam pengambilan keputusan oleh guru untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa (Herman et al., 1992:95; Popham, 1995:3). Variabel-variabel penting yang dimaksud sekurang-kurangya meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap siswa dalam pembelajaran yang diperoleh guru dengan berbagai metode dan prosedur baik formal maupun informal, sebagaimana dikemukakan oleh Corner (1991:2-3) sebagai berikut.
“A general term enhancing all methods customarily used to appraise performance of an individual pupil or group. It may refer to a broad appraisal including many sources of evidence and many aspect of pupil's knowledge, understanding, skills and attitudes; An assessment instrument may be any method and procedure, formal or informal, for producing information about pupil”
“A general term enhancing all methods customarily used to appraise performance of an individual pupil or group. It may refer to a broad appraisal including many sources of evidence and many aspect of pupil's knowledge, understanding, skills and attitudes; An assessment instrument may be any method and procedure, formal or informal, for producing information about pupil”
Tujuan utama penggunaan asesmen dalam pembelajaran (classroom assessment) adalah membantu guru dan siswa dalam mengambil keputusan profesional untuk memperbaiki pembelajaran. Menurut Popham (1995:4-13) asesmen bertujuan antara lain untuk:
(1) mendiagnosa kelebihan dan kelemahan siswa dalam belajar,
(2) memonitor kemajuan siswa,
(3) menentukan jenjang kemampuan siswa,
(4) menentukan efektivitas pembelajaran,
(5) mempengaruhi persepsi publik tentang efektivitas pembelajaran,
(6) mengevaluasi kinerja guru kelas,
(7) mengklarifikasi tujuan pembelajaran yang dirancang guru.
Penggunaan jenis asesmen yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan dalam mengakses informasi yang berkenaan dengan proses pembelajaran. Pemilihan metode asesmen harus didasarkan pada target informasi yang ingin dicapai. Informasi yang dimaksud adalah hasil belajar yang dicapai siswa.
Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan atau reaksi psikologi. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.
Menurut Lewin (dalam Andersen, 1980), perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak (kognitif, afektif, dan psikomotor) dan karakteristik lingkungan saat perilaku atau perbuatan ditampilkan. Jadi tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi lingkungan ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi lingkungan.
Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif, yaitu instrumen (1) sikap, (2) minat, (3) konsep diri, (4) nilai, dan (5) moral.
a. Instrumen sikap
Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat.
b. Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.
c. Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh.
d. Instrumen nilai
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.
e. Instrumen moral
Instrumen moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang ditampilkan dan laporan diri melalui pengisian kuesioner. Hasil pengamatan dan hasil kuesioner menjadi informasi tentang moral.
Instrumen-instrumen tersebut dapat di tuangkan dalam bentuk Quesioner. Selain melalui kuesioner ranah afektif peserta didik berupa sikap, minat, konsep diri, dan nilai juga dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik afektif peserta didik dilakukan di tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui keadaan ranah afektif peserta didik, perlu ditentukan dulu indikator substansi yang akan diukur, dan pendidik harus mencatat setiap perilaku yang muncul dari peserta didik yang berkaitan dengan indikator tersebut.
Penafsiran hasil pengukuran menggunakan dua kategori yaitu positif atau negatif. Positif berarti minat peserta didik tinggi atau sikap peserta didik terhadap suatu objek baik, sedang negatif berarti minat peserta didik rendah atau sikap peserta didik terhadap objek kurang. Demikian juga untuk instrumen yang direncanakan untuk mengukur ranah afektif yang lain.
Pembelajaran merupakan proses untuk meramu sarana dan prasarana pendidikan untuk mencapai kualitas yang diharapkan. Kualitas lulusan pendidikan sangat ditentukan oleh seberapa jauh guru itu mampu mengelola dan mengolah segala komponen pendidikan melalui proses pembelajaran. Meskipun sarananya lengkap tetapi jika guru tidak mampu mengolah sarana melaluli proses pembelajaran, maka kualitas pendidikan akan terasa hambar. Ibrat makanan guru adalah juru masak, yang senantiasa memiliki kemampuan meramu bumbu sehingga makanan terasa lezat.
Kendala pembelajaran misalnya, keterbatasan sumber belajar yang ada, keterbatasan alokasi waktu dan keterbatasan dana yang tersedia.
Pembelajaran juga memiliki pengaruh yang menyebabkan kualitas pendidikan menjadi baik atau rendah mutunya. Artinya pembelajaran sangat tergantung dari kemempuan seorang pengajar atau guru dalam melaksanakan atau mengemas proses pembelajaran sehingga menghasilkan sesuai dengan apa yang di inginkan pada tujuan pendidikan.
Pada umumnya manusia selalu ingin belajar agar mereka bisa berhadapan dengan dunia, dimana sekarang dunia sudah modern. Setiap orang yang melaksanakan suatu kegiatan, akan selalu berhadapan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi kegiatan khususnya kegiatan belajar. Seorang guru yang bertugas membelajarkan siswa/mahasiswa senantiasa tidak terlepas dari masalah-masalah belajar yang harus dihadapi seorang siswa/mahasiswa dalam kegiatan belajarnya. Dalam ilustrasinya ada siswa yang belajar giat, tekun, dan ada siswa yang pura-pura belajar serta tidak belajar sama seekali.
Dengan adanya kondisi semacam ini, perlu perhatian guru untuk mencari pemecahannya. Artinya ada masaloah yang dapat ditangani oleh seorang guru/dosen dan konselor, dan ada pula masalah yang harus dikonsoltasikan dengan ahli psikoogi. Berbagai macam masalah semuanya bersumber dari berbagai penyebab.
Dalam pemecahan masalah ini sangatlah penting dalam proses belajar pembelajaran agar sasaran yang diharapkan tercapai, yaitu ”memenusiakan manusia”. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar baik yang bersumber dari diri siswa maupun faktor lingkungan.
a. Faktor-faktor yang dari dalam diri siswa adalah:
1. Sikap Terhadap Belajar.
Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu objek tertentu baik menerima, menolak atau mengabaikan, siswa memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan sikap merupakan urusan masing-masing siswa sesuai dengan sikap yang dimilikinya, peran dosen/guru Cuma mengarahkan.
2. Motivasi Belajar.
Motivasi belajar pada setiap diri siswa bisa menjadi kuat dan lemah.lemahnya motivasi akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan hasil belajar menjadi lemah
pula dan sebaliknya.
3. Konsentrasi Belajar.
Konsentrasi merupakan faktor penting dalam kegiatan belajar. Konsentrasi sebagai kemampuan untuk memusatkan perhatian pada pembelaajran. Perhatian dimaksud adalah pada proses pembelajarn dan materi/bahan ajar.
4. Mengolah Hasil Belajar.
Mengelolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara penyimpanannya sehingga menjadi bermakna bagi kehidupannya. Isi bahan belajar berupa pengetahuan, nilai-nilai kesusilaan, nilai agama, nilai kesenian.
5. Menyimpan Perolehan Hasil Belajar.
Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara pengolahan pesan. Kemampuan menyimpan hasil belajar pada setiap orang yang belajar bervariasi yaitu ada yang berlangsung dalam waktu pendek dan
waktu yang lama.
6. Menggali Hasil Belajar Yang Tersimpan.
Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses mengaktifkan pesan yang telah diterima. Dalam hal pesan baru, maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari kembali atau mengaitkannya dengan bahan lama.
7. Kemampuan Prestasi/Unjuk Kerja Hasil Belajar.
Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar merupakan puncak dari rangkaian proses aktivitas belajar, dengan membuktikan keberhasilan belajar. Ini bisa
tercapai karena berkat belajar dan latihan-latihan.
8. Rasa Percaya Diri.
Rasa percaya diri terbentuk dari keinginan diri bertindak dan mencapai hasil,
dan berkat adanya pengakuan dari pihak lain atau lingkungan.
9. Intelegensi Dan Keberhasilan Belajar.
Menurut Wechhsler yang diadaptasi oleh dimyati mudjiono (1994 : 234) intelegensidalah ” suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berfikir secara baik dab bergaul dengan lingkungan secara efesien”
10. Kebiasaan Belajar.
Kebiasaan belajar merupakan faktor yang perlu perhatikan guru/dosen dalam pembelajaran. Kebiasaan belajar dapat menjadi baik dan buruk.
11. Cita-Cita.
Cita-cita merupakan motivasi instrinsik yang dapat pada masing-masing siswa.
Cita-cita merupakan motivasi instrinsik yang dapat pada masing-masing siswa.
Cita-cita perlu diarahkan dan dikembangkan sehingga menjadi pendorong siswa untuk
belajar lebih baik dan sungguh-sungguh, berani bereksplorasi dengan kemampuan yang
dimilikinya, agar sasaran belajar tercapai secara memuaskan.
b. Faktor-faktor yang dari luar diri siswa adalah :
1. Kondisi belajar
2. Tujuan belajar
3. Guru sebagai pembina belajar
4. Prasarana dan sarana belajar
5. Kebijakanpenilaian.
6. Lingkungan sosialsekolah.
7. Kurikulum.
c. Pemberian umpan balik
Faktor lain yang juga penting mempengaruhi kegiatan belajar dan pembelajaran adalah umpan balik, umpan balik bermanfaat untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap pencapaian tujuan belajar, informasi mengenai keberhasilan dan kegagalan dalam kegiatan belajar, serta sebagai koreksi untuk meningkatkan kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat siswa dalam kegiatan belajarnya.
trima kasih telah memberi contoh makalah.untuk jadi pedoman menyusun makalh kami
BalasHapus